Selasa, 31 Januari 2012

Kecurangan UN Bukan di Percetakan

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengapresiasi segala upaya yang dilakukan pemerintah guna meminimalkan terjadinya kecurangan dalam Ujian Nasional (UN), mulai dari persiapan hingga pelaksanaan.
Salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan memusatkan pencetakan naskah UN dan memberikan kode tertentu di tiap lembar naskah (security printing). Hal itu dilakukan untuk menghindari kebocoran soal.

Meski demikian, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Golkar Harbiah Salahuddin menyatakan, dari pengalaman yang ada, kecurangan-kecurangan tersebut terjadi bukan saat proses percetakan, melainkan terjadi di sekolah.
”Dari pengalaman kita, sebaik apa pun deskripsi secara teori yang mampu dibuat, namun justru kebocoran itu ada di ruang kelas, di lapangan. Apakah ini sudah ada langkah antisipasi,” kata Harbiah, di Jakarta, kemarin.

Dia berpendapat, kecurangan-kecurangan tersebut terjadi kaena adanya desakan dari para kepala daerah yang berharap angka kelulusan di daerahnya tinggi. Diyakini ada pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan seperti itu.
”Mungkin percetakannya sudah aman, tapi masih ada pihak yang memiliki tujuan tertentu. Misalnya, sekolah itu mendapat beban dari pemerintah daerah untuk meluluskan siswanya,” ungkapnya.

Harbiah khawatir jika pemerintah belum mengantisipasi untuk menekan kebocoran di lapangan, kebijakan pemusatan percetakan, security printing, atau pemberian kode tertentu dalam naskah UN akan menjadi sia-sia.
”Meskipun sudah beres dalam percetakan dan kode rahasia sudah apa, upaya orang untuk berbuat tidak baik itu selalu ada,” tandas Harbiah.
Pernyataan senada juga dilontarkan anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP Tubagus Dedi Gumelar. Menurutnya, daerah harus memiliki visi yang jelas akan dunia pendidikan, tanpa harus melakukan intervensi kepada sekolah.

Intervensi

Ditegaskan, jangan sampai hasil kelulusan UN dijadikan alat untuk menjaga reputasi para pemimpin daerah. Dia berpendapat jika ada pihak yang merasa mendapat intervensi dari pihak tertentu, maka celah untuk terjadinya kecurangan akan terbuka lebar.
”Jika kepala sekolah dan kepala dinas merasa reputasinya akan hancur jika UN jeblok dan takut kepala daerah marah, maka akan dilakukan berbagai upaya kecurangan. Dan, yang akan dilakukan itu disebut kejahatan moral dalam dunia pendidikan,” tandas Miing, sapaan akrabnya.

Anggota Komisi X dari Fraksi PPP Reni Marlinawati menilai, perubahan kebijakan yang dilakukan Kemdikbud masih sebatas teknis. Diharapkan Kemdikbud mau melakukan perubahan komposisi atau bobot kelulusan siswa, di mana saat ini ketentuan kelulusan didasari 60% nilai UN dan 40% nilai ujian sekolah.
”Kami ingin mengusulkan pada tahun ini 50% (UN), 50% (ujian sekolah). Yang kami inginkan persentase bobot itu,” imbuhnya.

Menurutnya, ujian sekolah justru untuk mengukur tingkat tercapainya pendidikan yang merata di tiap satuan pendidikan dan setiap daerah. ”Bagaimana mungkin kita mau menjustifikasi keberhasilan masing-masing satuan pendidikan kalau misalnya nilai sekolah yang diadopsi itu sedikit,” ujarnya. (K32-37) (/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar